Ramadhan dalam Tradisi NU, Amalan dan Kearifan Lokal yang Tetap Lestari

Menurut kalian, Bulan Ramadan selalu membawa suasana yang berbeda gak sih, rekan dan rekanita? Selain jadi waktu spesial untuk meningkatkan ibadah, Ramadan juga penuh dengan tradisi khas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga momentum untuk merawat amalan sunnah dan menjaga kearifan lokal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan.

Sebelum Ramadan tiba, masyarakat NU biasanya punya tradisi ziarah kubur ke makam keluarga dan ulama. Ini bukan sekadar datang, duduk, lalu pulang. Biasanya, ada tahlilan dan doa bersama untuk mendoakan mereka yang sudah mendahului kita. Tradisi ini bukan hanya soal menghormati leluhur, tapi juga jadi pengingat bahwa hidup di dunia itu sementara.

Kalau di kota-kota ngabuburit identik dengan jalan-jalan sore cari takjil, di pesantren atau lingkungan NU, ngabuburit sering diisi dengan ngaji kitab kuning, dzikiran, atau kajian menjelang berbuka. Suasana seperti ini bikin Ramadan makin berkah karena waktu kita lebih banyak diisi dengan hal-hal bermanfaat.

Di banyak masjid NU, shalat tarawih biasanya dilakukan 20 rakaat plus witir 3 rakaat. Meskipun ada yang memilih 8 rakaat, bagi warga NU, 20 rakaat sudah jadi tradisi turun-temurun yang diamalkan para ulama terdahulu. Enggak perlu dibanding-bandingkan, yang penting tetap ikhlas dan semangat beribadah!

Salah satu momen spesial di Ramadan adalah peringatan Nuzulul Qur’an di malam 17 Ramadan. Biasanya, ada pengajian akbar, khataman Qur’an, bahkan ada yang sampai semalam suntuk tadarus bareng di masjid. Di pesantren, tradisi khotmil Qur’an menjelang akhir Ramadan jadi bagian yang ditunggu-tunggu karena sekaligus momen untuk muhasabah dan doa bersama.

Di berbagai daerah, Ramadan juga identik dengan tradisi berbagi. Dari yang sederhana seperti bagi-bagi takjil gratis di jalanan, hingga kenduri atau buka bersama di masjid-masjid kampung. Ini adalah bentuk nyata dari nilai gotong royong dan kebersamaan yang diajarkan dalam Islam dan dijaga erat oleh warga NU.

Malam takbiran di daerah yang kental dengan NU pasti ramai dengan takbiran keliling. Ada yang pakai obor, ada yang pakai bedug besar, bahkan ada yang dihias seperti festival mini. Meski sekarang takbiran keliling mulai dikurangi di beberapa tempat, tradisi ini tetap jadi salah satu yang paling dirindukan setiap Ramadan.

Ramadan di lingkungan NU bukan hanya tentang ibadah wajib, tapi juga soal merawat tradisi yang penuh makna. Setiap amalan dan kearifan lokal yang dijaga turun-temurun bukanlah sekadar ritual, tapi bentuk nyata dari Islam yang membumi dan tetap lestari. Dengan menjaga tradisi-tradisi ini, kita bukan hanya memperkaya spiritualitas, tapi juga menjaga warisan para ulama agar tetap hidup di tengah masyarakat.

Jadi, tradisi Ramadan di tempatmu seperti apa? Masih lestari atau mulai pudar? Yuk, kita jaga dan lestarikan bersama!

Penulis : Redaktur

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp