Raden Ajeng Kartini dikenal luas sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Namun, di balik perjuangannya dalam menuntut kesetaraan dan pendidikan bagi kaum perempuan, ada sosok ulama besar yang memberikan pengaruh besar terhadap spiritualitas dan pemikiran Kartini, yaitu Kiai Haji Sholeh Darat.
K.H. Sholeh Darat merupakan ulama kharismatik dari Semarang yang hidup pada abad ke-19. Ia dikenal sebagai ahli tafsir, fiqih, dan tasawuf yang produktif menulis kitab-kitab keislaman dalam bahasa Arab dan Jawi (Arab Pegon). Ia adalah guru dari banyak tokoh besar, termasuk Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Kartini yang tumbuh dalam lingkungan priyayi Jawa mengalami kegelisahan spiritual. Ia membaca banyak literatur Barat dan membandingkannya dengan ajaran Islam yang pada saat itu kurang bisa diakses oleh kalangan perempuan, terutama karena keterbatasan bahasa. Al-Qur’an hanya tersedia dalam bahasa Arab, dan tafsirnya pun hanya dimiliki oleh kalangan pesantren.
Dalam surat-suratnya, Kartini pernah mengungkapkan kebingungannya tentang ajaran Islam yang terasa “gelap” baginya, karena ia tidak mengerti bahasa Arab. Ia menyayangkan bahwa Al-Qur’an tidak bisa dibaca dan dipahami oleh rakyat awam.
Kegelisahan Kartini ini didengar oleh K.H. Sholeh Darat, yang kemudian menyusun tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Tafsir tersebut diberi judul Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan, yang merupakan salah satu tafsir pertama dalam bahasa lokal di Nusantara.
Tafsir karya K.H. Sholeh Darat ini dihadiahkan kepada Kartini saat pernikahannya dengan Bupati Rembang, R.M. Joyodiningrat. Ketika menerima kitab tersebut, Kartini sangat terharu dan menyatakan bahwa inilah pertama kalinya ia bisa memahami isi Al-Qur’an. Ia pun berkata:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Setelah mengenal tafsir karya K.H. Sholeh Darat, pemikiran Kartini mengalami transformasi spiritual. Ia semakin menyadari bahwa Islam sejatinya mendukung pendidikan dan penghormatan terhadap perempuan. Hal ini makin memperkuat tekadnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, tidak hanya berdasarkan nilai-nilai modern Barat, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Hubungan antara R.A. Kartini dan K.H. Sholeh Darat bukanlah sekadar hubungan antara murid dan guru, melainkan sebuah perjumpaan pemikiran yang melahirkan pencerahan dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia. K.H. Sholeh Darat memberikan Kartini alat untuk memahami Islam secara mendalam, dan Kartini membuktikan bahwa ajaran Islam mampu berjalan beriringan dengan kemajuan dan kesetaraan.



