Menu Tutup

Dihukumi atau Dihakimi, Kesetaraan Mungkin Hanya Sebuah Konsep Palsu

Ilustrasi

Seiring perkembangan zaman dunia digital yang semakin merajai, privasi hanya menjadi sebuah kata tanpa definisi berarti. Bermodalkan 2 juta kita dapat berselancar menjamah dunia menggunakan gadget di genggaman, potret kehidupan kita tercecer di media sosial.

Orang bilang generasi kita generasi cerdas, generasi dengan pola pikir tanpa batas, modernisasi yang mustahil tandas. Era 4.0 bukan hanya puncak dari revolusi industri tapi juga kebebasan pola berpikir, bahkan gaya hidup masyarakat. Bukan hanya kalangan elit, pejabat, dan artis, semua lapisan masyarakat bebas bermedsos dengan gratis, tak jarang konten-konten viral memicu  seseorang menjadi tenar dadakan. Orang-orang berlomba-lomba membuat karya dengan menghamba pada banyaknya jumlah tanda suka. 

Dalam dunia maya semuanya setara, bagaikan mata uang yang punya dua sisi, seberapa cantik apapun bentuk kesetaraan itu ada saja orang-orang yang mengotori hakikat dari kesetaraan yang sesungguhnya. Tidak bijaknya warganet dalam menanggapi sesuatu serta komentar yang sarkasme bahkan cenderung kejam menjadikan medsos momok menakutkan bagi sebagian orang.

Warganya (Netizen) bagaikan ratu keadilan yang berhak menghakimi dan menilai benar salahnya seseorang di dunia maya. Sayangnya dewi keadilan itu hanya bersikap “baik” pada orang-orang “cantik”. Kesalahan apapun selalu “indah” jika yang melalukan “gagah”. Tak jarang konten-konten viral banyak digandrungi bukan karena isinya yang mengedukasi, tapi karena bentuk fisiknya yang sempurna.

  Banyak kasus yang menyimpang norma masyarakat justru mendapat empati karena “wajah” pelaku memang pantas untuk “dimaafkan”. Misalnya public figure yang seharusnya jadi panutan, kemarin sempat viral karena tindak asusila yang dilakukan. Seseorang yang dengan gamblang melakukan kesalahan justru mendapat dukungan empati tinggi untuk bangkit kembali, meskipun ada beberapa yang bersuara namun bentuk kritikannya masih pada taraf biasa saja.

Seseorang yang dapat disebut good looking  akan selamat dari hujatan warganet, terlepas dari kesalahan yang diperbuat. Berbeda dengan mereka yang bad looking, hujatan akan terus menghujani dalam waktu yang cukup lama. Istilah “netijen maha benar” memang benar adanya.

Berbekal kritikan berupa ketikan itulah yang kemudian membentuk suara publik dan hukum massa. Terlepas kesalahan apa yang dilakukan seseorang dan hukuman apa yang diberikan hakim, nyatanya doktrin massa lebih leluasa berjibaku membentuk “hukum kebenaran” sesuai versinya, acuh dengan fakta, membenarkan hanya pada apa yang disuka. Karena di medsos, dihukumi atau dihakimi, kesetaraan mungkin hanya sebuah konsep palsu.

Penulis: Nurul Istiqomah
Editor: Ahmed

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *