Menu Tutup

Menilik Sejarah Perjuangan Ulama di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung

Makam Para Auliya’ di dusun Kalibening (Foto : Hafedz Maschun)

Tujuh puluh empat tahun bangsa Indonesia merasakan kemerdekaannya, terbebas dari pembatasan dan perampasan hak akibat perlakuan Pemerintahan Kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun, dan dilanjut oleh Kependudukan Nipon (Jepang) selama perang dunia kedua. Proses untuk meraih kemerdekaan ini pun bukan suatu hal yang mudah, melainkan melalui berbagai macam cara baik melalui perang atau melalui hubungan diplomatik.

Akhir abad ke 19 merupakan perjuangan kemerdakan yang paling puncak dan kentara di seluruh Negeri, dikarenakan rasa nasionalisme telah muncul oleh semua suku bangsa yang ada di Nusantara, mereka telah sadar pentingnya saling bahu membahu untuk mendapatkan kemerdekaan, yang nantinya bisa dirasakan oleh semua bangsa yang ada di Nusantara.

Para Ulama juga salah satu orang yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan, tak hanya menyebarkan ajaran agama Islam, mereka juga menumbuhkan rasa cinta tanah air pada para santri mereka supaya mau berjuang merebut kemerdekaan.

Banyak sekali kisah perjuangan Ulama berjihad untuk kemerdekaan, salah satu cerita yang dapat kita ketahui disekitar kita selaku Pelajar di Kabupaten Batang ialah kisah perjuangan Ulama yang berada di sebuah desa bernama Kalisalak. Pada abad ke-17 Kalisalak merupakan sebuah Kawedanan (Daerah Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda setingkat Kecamatan) sebelum akhirnya menjadi sebuah desa dibawah kecamatan Limpung.

Dilansir dari artikel biografi yang berjudul “Persembahan Ulama’ Pesantren untuk Bumi Pertiwi : Menapak Histori Perjuangan di Kota Emping Limpung” terbitan Majalah SANTRI TPI Al-Hidayah Al-Islah edisi 02 tahun 2017.

Cerita berawal dari sebelum diketahui siapa yang berada di dalam makam tersebut, Kyai Asy’ari kecil pernah diberi amanah oleh orang tuanya untuk merawat makam yang waktu itu masih berupa tanah dengan nisan batu biasa. menurut sang Ayah, suatu saat keturunannya akan datang mencari ahli makam tersebut. Selama menjalankan perintah sang Ayah merawat makam, Kyai Asy’ari menemukan tanda-tanda spiritual dari area makam yang makin memperkuat bahwa makam tersebut bukanlah makam orang biasa.

Selain tanda-tanda spiritual, muncul bukti yang memperkuat adalah dari hasil penelitian mahasiswa S3 berkewarganegaraan Jepang yang waktu itu membawa salinan catatan yang ia peroleh dari perpustakaan di Amsterdam Belanda. Dalam catatan tersebut menyinggung tentang orang orang yang terbenam dalam makam,  bukti yang lain juga beliau dapat dari keterangan Al-Mursyid Habib Lutfi Bin Yahya dari Pekalongan yang mengatakan bahwa beliau sanad-nya sampai pada Ahli makam.

Berdasarkan keterangan yang Mbah Asy’ari terima, makam-makam tersebut merupakan makam Para Auliya’ yang menyebarkan agama Islam sekaligus pejuang kemerdekaan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tokoh yang paling utama di makam tersebut ialah Sayyid Ibrahim Mertowikromo bin Rukhil bin Muqoddam Muhammad bin Mursyid bin Syekh Saiful Hijad bin Syekh Abdul Qodir atau biasa disebut sebagai Mbah Ibrohim, yang berperan sebagai guru dari pada tokoh yang lain. Silsilah beliau sampai pada Sayyid Hidayatullah dari Cirebon dan Muttashil kepada Rosulullah SAW.

Beliau adalah seorang ulama terkemuka yang hidup berkisar tahun 1700-an Masehi, Beliau juga tercatat sebagai salah satu tokoh yang menurunkan Ulama-ulama besar di kawasan eks-karisidenan Pekalongan dan sekitarnya. Beliau memiliki empat orang putra yaitu Mbah Hussain (Macannya Pekalongan), Mbah Sulaiman, Mbah Jailani, dan mbah Joyowokromo.

Majalah SANTRI mengabarkan Selain mengajarkan tentang agama islam, Mbah Ibrohim juga menanamkan sifat cinta tanah air dan nasionalisme kepada para Santrinya untuk berjuang dalam melepas belenggu penjajahan Belanda. Dikabarkan  salinan catatan yang dibawa oleh mahasiswa S3 dari perpustakaan Amsterdam, terdapat 41 nama Penjahat (sebutan Belanda kepada para Ulama yang melawan Pemerintah Kolonial) yang ada di dukuh Kalisalak dan Banyubening.

41 nama tersebut adalah murid daripada Mbah Ibrohim Mertowikromo yang konon dibai’at langsung oleh nabi Khidir AS. Di pesisir kidul pantai Cirebon yang sekarang tempat tersebut telah dijadikan sebagai musholla. kabar ini diperkuat oleh mbah Muhaimin dari Parakan, menurut beliau 41 nama tersebut menyebar di berbagai daerah untuk mengajarkan ajaran agama islam serta berjuang melawan pemerintahan kolonial belanda.

Diantara semua murid mbah Ibrahim yang tidak diketauhi pasti berapa jumlahnya, ada satu yang terkemuka namanya. Beliau adalah Sayyid Imam Mujahid Habib Umar bin Hamid bin Yahya yang merupakan keturunan ke-33 Nabi Muhammad SAW. Selain mengaji di pesantren Mbah Ibrohim, beliau juga sebagai panglima perang dan pengatur strategi saat itu dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Beliau tak hanya dikenal pandai dibidang agama, namun mahir dalam bidang ekonomi, keseharian Habib Umar sebagai pedagang kuda yang hasil dari jualannya  beliau limpahkan untuk kepentingan umat dan untuk memenuhi kebutuhan kala melawan kompeni (sebutan untuk para penjajah belanda), pengabdian habib Umar ini ia jalankan sampai akhir hayat, beliau dikebumikan bersandingan dengan Mbah Ibrohim di Kalibening. Menurut Mbah Asyari, para ulama tersebut bisa saja mendapatkan gelar pahlawan nasional jika Habib Lutfi bin Yahya dari Pekalongan memintakan, namun sang Habib enggan untuk melakukan hal tersebut.

Selain Habib Umar, murid Mbah Ibrohim lainnya yang juga berperan penting ialah Sayyid Hasan Husein Abdullah. Ia dikenal sebagai seorang yang alim dan merupakan mursyid thoriqoh pada saat itu, Beliau juga berperan sebagai pembuat senjata dan perlengkapan perang melawan penjajah, makamnya berada disebelah makam Habib Umar bin Yahya.

Selanjutnya ialah Syeikh Abdul Hamid atau Pangeran Diponegoro juga salah satu dari para Murid Mbah Ibrohim, beliau adalah putra mahkota Kerajaan Solo, dan dikenal oleh banyak orang karena merupakan pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Diponegoro hidup satu masa dengan Habib Umar bin Yahya dan Sayyid Hasan Husein bin Abdullah pada abad ke 18.

Beliau (Pangeran Diponegoro) merupakan ulama besar, Guru Thoriqoh, sekaligus Pimpinan Perang. Banyak yang tidak mengetahui kalau Pangeran Diponegoro pernah menjadi santri Mbah Ibrohim di wilayah kecamatan Limpung, karena sampai saat ini belum ditemukan bukti sejarah yang menyebutkan cerita tersebut, akan tetapi saat ditelusuri kepada pihak Keraton Solo, mereka mengakui keafsahan cerita tersebut. Menurut Mbah Asy’ari, Pangeran Diponegoropun dibekali dua pusaka senjata oleh Mbah Ibrohim yaitu keris Nogo Sosro dan Keris Pedut.

Adapun kondisi Pondok Pesantren Mbah Ibrohim saat ini sudah hilang tak berbekas, menurut penuturan Kyai Asy’ari pondok pesantren Mbah Ibrohim suatu hari di bom oleh belanda sehingga meluluh lantakan bangunan pondok serta menewaskan para santri mbah Ibrohim termasuk ia sendiri, saat kejadian seperti itu ada beberapa santri yang berhasil lolos salah satunya ialah Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke kawasan Tondano di pulau Maluku dan wafat disana tahun 1829 M.

Belum banyak yang mengetahui kisah perjuangan Ulama yang ada di dukuh Kalibening ini, dan tak hanya di Kalibening saja namun di dukuh lain di Kalisalak juga terdapat makam yang serupa yang usianya lebih tua daripada yang ada di dukuh Kalibening ini. Keberadaan banyak makam kuno ini membuat sebuah julukan baru  bahwa Desa Kalisalak merupakan Desa Tertua di Kecamatan Limpung, selain sebelumnya dikenal sebagai tempat awal penyebaran ajaran Mbah Rifa’i pemimpin organisasi Rifa’iyah, karena terdapat petilasan beliau yang bertempat di sebelah selatan Balai Desa Kalisalak.

Kita selaku Pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) tak boleh melupakan sejarah yang berada disekitar kita, karena dengan belajar sejarah dapat memotivasi kita sebagai generasi zaman sekarang untuk lebih giat lagi dalam berkhidmat kepada Nahdlatul Ulama.

Di Tulis oleh : Hafedz Maschun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *